Penggiat Seni...

Bicara Seni


ShoutMix chat widget

Friday, May 22, 2009

TEORI EDMUND BURKE FELDMAN (sila ekstrak dari bahan ini... Terdapat teori beliau)

This is the html version of the file http://sipoel.unimed.ac.id/file.php/173/Bahan_Kuliah_Kritik/Modul_I_Pendahuluan.doc.
Google automatically generates html versions of documents as we crawl the web.
M
M
M
ODUL I
PENDAHULUAN

1. Tujuan Instruksional

1. Kompetensi

M

engetahui pentingnya kritik seni yang dapat digunakan untuk memahami karya seni, dan juga menemukan suatu cara untuk mengetahui apa yang melatar belakangi suatu karya seni yang dihasilkan serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, sehingga hasil kritik seni benar-benar maksimal, dan secara nyata dapat menyatakan baik buruknya sebuah karya. Akhir tujuan dari kritik seni adalah supaya orang yang melihat karya seni memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan mutu suatu karya seni, dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap karya seni.

2. Kompetensi dasar

Setelah mempelajari modul 1 ini, anda diharapkan :

1. Dapat menjelaskan secara lisan maupun tulisan pengertian kritik seni.
2. Menjelaskan tujuan dan fungsi kritik seni.
3. Menjelaskan unsur-unsur kritik seni yang meliputi deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan penilaian.
4. Menjelaskan aspek-aspek yang dikritik meliputi gaya perseorangan / pribadi, tema, kreatifitas, dan teknik dalam mewujudkan karya seni.

Kegiatan Belajar 1

2. Pengertian Kritik Seni

I

stilah “kritik seni” dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan istilah “ulas seni”, “kupas seni”, “bahas seni” atau “bincang seni”. Hal ini disebabkan istilah “kritik” bagi sebagian orang sering mempunyai konotasi negatif yang berarti kecaman, celaan, gugatan, hujatan, dan lain-lain (lihat Kamus Purwadarminta). Dalam Kamus Inggris-Indonesia disebutkan kata critic adalah kata benda yang artinya pengecam, pengeritik, pengupas, pembahas. (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1984 : 155) Istilah critic dalam bahasa Inggris sudah ada sejak tahun 1588, secara etymology berasal dari bahasa Latin criticus, bahasa Junani kritikos yang erat hubungannya dengan krinein yang berarti memisahkan, mengamati, menilai, dan menghakimi (Merriam Webster's Collegiate Dictionary).

Lebih lanjut dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary disebutkan bahwa arti kritik adalah :

1 a : one who expresses a reasoned opinion on any matter especially involving a judgment of its value, truth, righteousness, beauty, or technique b : one who engages often professionally in the analysis, evaluation, or appreciation of works of art or artistic performances
2 : one given to harsh or captious judgment

Dalam rumusan Webster’s tersebut disebutkan bahwa maksud kritik adalah orang yang menyampaikan pendapatnya dengan alasan tertentu terhadap berbagai hal, terutama mengenai nilainya, kebenarannya, kebajikannya, kecantikannya atau tekniknya. Berikutnya dinyatakan bahwa arti kritik adalah orang yang melibatkan diri secara profesi dalam menganalisa, mengevaluasi atau memberi penghargaan kepada karya seni atas pencapaian artistiknya. Terakhir dinyatakan bahwa maksud kritik adalah seseorang yang memberikan pelilaian dengan cerdik atau tajam.

Sedangkan pengertian criticism adalah :

1 a : the act of criticizing usually unfavorably b : a critical observation or remark c : critique
2 : the art of evaluating or analyzing works of art or literature
3 : the scientific investigation of literary documents (as the Bible) in regard to such matters as origin, text, composition, or history

Menurut penjelasan pertama di atas, tindakan mengkritik dalam kehidupan sehari-hari umumnya tidak mendukung atau menguntungkan bagi yang dikritik; suatu pengamatan yang kritis atau teguran. Padanan kata critique dalam batasan di atas berarti kupasan atau tinjauan. Dalam seni mengkritik berarti mengevaluasi atau meneliti karya seni atau literatur. Berikutnya mengkritik diartikan sebuah penyelidikan yang ilmiah dari naskah atau dokumen yang terkait dengan kesusateraan dalam hubungan dengan berbagai hal seperti keasliannya, teks, komposisi, atau sejarahnya.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, istilah “kritik” dalam bahasa Indonesia dapat dianalogikan dengan istilah critic, criticism dan critique dalam bahasa Inggris. Pada umumnya istilah “kritik seni” terkait dengan masalah seni, dan bertujuan mendiskripsikan, menganalisis, mengintepretasi, dan menilai karya seni.
Kegiatan Belajar 2

3. Tujuan dan Fungsi Kritik Seni

T

ujuan dari kritik seni adalah pemahaman pada karya seni, dan ingin menemukan suatu cara guna mengetahui apa yang melatar belakangi suatu karya seni dihasilkan serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, sehingga hasil kritik seni benar-benar maksimal, dan secara nyata dapat menyatakan baik buruknya sebuah karya. Akhir tujuan dari kritik seni adalah supaya orang yang melihat karya seni memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan mutu suatu karya seni, dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap karya seni. (Feldman, 1967 : 448)

Kritik seni berfungsi sebagai jembatan atau mediator antara pencipta karya seni dengan penikmat karya seni, serta antara karya seni itu sendiri dengan penikmatnya. Fungsi sebagai jembatan ini sangat penting dan strategis, karena tidak semua orang penikmat karya seni dapat mengetahui dengan pasti apa yang ingin disampaikan dan dikomunikasikan oleh pencipta karya seni dengan wujud karya yang dihadirkan. Pada sisi yang lain, kritik seni juga dapat dimanfaatkan oleh pencipta karya seni untuk mengevaluasi diri, sejauh mana karya seninya dapat ditangkap dan dimengerti oleh orang lain, sejauh mana prestasi kerjanya dapat dipahami manusia di luar dirinya. Kesemuanya merupakan umpan balik yang sangat berharga bagi pencipta karya seni untuk memperbaiki karya-karya seninya dimasa-masa mendatang.

Dalam kesenian sering disebutkan bahwa karya yang dihasilkan tersebut dapat dikategorikan sebagai karya seni tradisional, konvensional atau klasik, kemudian dapat dikelompokkan sebagai karya seni moderen, dan terakhir dalam pembagian klasifikasi adalah karya seni post-modern atau kontemporer. Masing-masing kategori tentunya mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan kategori yang lain.

Terkait dengan relasi pertandaan pra-modernisme, modernisme, dan post-modernisme, terlihat perbedaan relasi pertandaan yang sangat mencolok dalam bidang seni rupa dan desain. Pada masa klasik atau pra-modernisme, seni berfungsi menyampaikan pesan-pesan ideologis atau spiritual yang sudah mapan secara konvensional. Pada abad pertengahan, seni lebih banyak diwarnai upaya penyampaian tanda tentang wahyu, ajaran, atau kebenaran lewat ikon-ikon. Hal ini secara umum dapat digambarkan dalam sebuah prinsip: form follows meaning, yang artinya bentuk selalu bermuara pada makna-makna ideologis atau spiritual.

Pada masa moderen, seni berusaha menolak keterkaitannya dengan makna-makna ideologis atau spiritual, dan berupaya menolak makna-makna yang berasal dari luar seni itu sendiri. Seni moderen berusaha melepaskan diri dari perangkap mitos, tradisi, kepercayaan, dan konvensi sosial. Sebagai gantinya, modernisme mengajukan prinsip: form follows function, yang artinya bahwa setiap ungkapan bentuk pada akhirnya akan menyandarkan maknanya pada aspek fungsi dari suatu obyek. Dalam seni murni, aspek fungsi dapat dijelaskan dengan istilah formalisme, yang maksudnya sebuah bentuk dikatakan bermakna bukan berdasarkan relasi strukturalnya dengan realitas di luar bentuk tersebut, tetapi relasi formal di antara elemen-elemen seni rupa seperti: garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur, yang membangun bentuk tersebut, dan sekaligus menentukan fungsinya.

Pada seni post-modernisme, relasi pertandaan lebih bersifat ironis dengan menolak acuan penanda pada makna ideologis yang konvensional, sekaligus juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Post-modernisme meminjam dan mengambil tanda-tanda dari periode klasik dan moderen, bukan untuk menjunjung tinggi makna-makna ideologis dan spiritualnya, tetapi untuk menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan makna-makna konvensional, dan meleburkan diri dalam ajang permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, sebagaimana dikemukakan Derrida dan Baudrillard. Post-modernisme mengajukan satu prinsip baru pertandaan: form follows fun, yang maksudnya dalam post-modernisme bukan makna-makna ideologis yang ingin dicapai, tetapi justru kegairahan dalam bermain dengan penanda. (lihat Piliang, 1999 : 121 – 124)

Kritik seni merupakan pembicaraan mengenai karya seni, sedangkan kritik seni rupa adalah pembicaraan mengenai karya seni rupa. Guna mewujudkan tujuan tersebut, maka diperlukan cara pertimbangan penilaian yang akan mempermudah dalam memahami karya seni rupa dengan segala aspeknya, baik faktor intraestetik maupun ekstraestetik.

Kreasi dan apresiasi merupakan tindakan penciptaan karya seni oleh pencipta karya seni atau seniman dan pemanfaatan / penghargaan oleh pemakai seni (user) untuk memenuhi kebutuhan estetik sesuai dengan pedoman pada model pengetahuan yang ada dalam kesenian yang didukungnya, dan berpegang pada tradisi yang berlaku. Penciptaan atau kreasi karya seni dipengaruhi faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman dan pemakai seni / user. Pendekatan intraestetik, yaitu faktor yang semata-mata memandang nilai estetik yang terkandung dalam bentuk fisik karya seni (unsur struktur, bentuk, dll.) dengan kriteria yang ditetapkan universal oleh para ahli seni. ( bandingkan H. G. Blocker, 1979 : 22–24 ; M. Dufrenne, 1979 : 301-329; T. Munro, 1969 : 358 - 360)

Faktor intraestetik sering juga disebut dengan penilaian formalisme yang menempatkan unsur-unsur estetika dalam suatu karya seni merupakan tinjauan utamanya. Melalui penilaian formalisme, maka kritik lebih bersifat mementingkan bentuk-bentuk visualnya. Penilaian formalisme menempatkan mutu artistik pada suatu kualitas yang terintegrasi dalam pengorganisasian secara formal dari suatu karya seni rupa. Menurut Edmund Burke Feldman, seorang formalis adalah yang melihat hubungan antara perencanaan dan perhitungan menjadi sesuatu yang jelas dan benar-benar sama bobotnya. Karya-karya Mondrian dianggap lebih jelas bagi kaum formalis karena dalam karyanya cenderung mengurangi suatu akibat yang bersifat kebetulan. (lihat Feldman, 1967 : 459)

Pendekatan formalisme dalam menelaah karya seni rupa dengan cara memandang obyek utamanya atau karakteristik materialnya, sehingga masalah kecakapan dalam mengolah bentuk dan keterampilan teknis dari pembuat karya seni dalam mewujudkan karya seninya yang kasat mata merupakan pokok perhatian utama pendekatan ini. Penilaian formalisme dapat dilakukan dengan cara mengurai secara obyektif seluruh tampilan visual dengan pendekatan kontruktif dan struktural pada formalitas bentuknya. Pengorganisasian dari elemen-elemen visual merupakan bagian terpenting dalam penilaian mewujudkan sebuah karya seni.

Formalisme sebagai suatu teori dalam kritik seni cenderung mengkesampingkan atau mengabaikan faktor ekstraestetik atau faktor-faktor di luar karya seni yang dinilai, seperti faktor nilai-nilai estetika yang berhubungan dengan latar belakang pencipta karya, faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, pendidikan, dan religi.

Berlawanan dengan penilaian formalisme, penilaian ekspresifisme lebih tertarik dengan memperhatikan faktor perasaan dan emosi seniman dalam menghasilkan karyanya. Hal ini disebabkan dalam pendekatan ekspresifisme, faktor unsur-unsur pribadi dalam diri pencipta karya secara disadari atau tidak disadari akan hadir dalam karya-karya yang dihasilkannya. Pendekatan ekspresifisme lebih tertarik kepada karya seni rupa yang diwujudkan melalui proses pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan yang ada dalam diri seniman. Pendekatan ekspresifisme merupakan kombinasi dari pendekatan faktor intraestetik dan ekstraestetik dalam batas-batas tertentu.

Faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman menjadi pertimbangan penilaian karya seni yang dihasilkannya. Faktor ekstra-estetik ini disebut juga dengan penilaian instrumentalisme, karena tidak hanya mengkaji ungkapan perasaan atau emosi pencipta karya seni seperti pendekatan ekspresifisme, tetapi suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatar belakangi kehidupan seniman. Pendekatan instrumentalisme merupakan teori pendekatan karya seni rupa yang mencoba mengkaji kaitan antara karya seni yang dihasilkan dengan latar belakang penciptanya. Pendekatan ini sering digunakan untuk menilai karya seni rupa kontemporer, karena pendekatan ini mencurahkan perhatiannya kepada tema, narasi dan kontekstual gagasan dari karya seni kontemporer yang dihasilkan. Penilaian instrumentalisme cenderung memandang karya seni rupa sebagai tekstual yang dikaitkan dengan kontektual karya tersebut, dan menyadari bahwa karya seni sebagai bentuk “pengabdian” untuk menjalankan beberapa pesan dan tujuan di luar dirinya.

Berdasarkan beberapa uraian penilaian di atas, tampaknya karya yang disajikan oleh seniman dapat mewakili ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, dari masing-masing seniman yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidupnya. Karya seni cenderung berbeda dalam corak dan ungkapan, dan mempunyai ciri khas masing-masing yang unik, seperti dalam seni kontemporer relasi pertandaan cenderung menolak acuan penanda pada makna ideologis yang konvensional, dan juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Seni kontemporer menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru, dan menghanyutkan diri dalam arena permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, dan setiap orang dibebaskan untuk menginterpreatsikan serta memaknai karya seni kontemporer secara terbuka sesuai dengan latar belakang sosial budaya dan pengalamannya.
Kegiatan Belajar 3

4. Unsur Kritik Seni

D

alam melaksanakan kritik seni secara verbal maupun tulisan, biasanya terdapat unsur deskripsi karya seni, kemudian analisis formal karya seni, yang dilanjutkan dengan interpretasi, dan terakhir tahap evaluasi atau penilaian akan mutu yang dihasilkan dalam karya seni yang dikritik. Unsur-unsur kritik seni tersebut di atas sistematikanya dapat dilakukan secara berurutan atau secara acak, tergantung tujuan kritik seni itu dilakukan. Pada kritik jurnalistik, karena keterbatasan kolom, maka uraian kritik seni biasanya disesuaikan dengan gaya selera penulisan media massanya.

Kritik seni awalnya merupakan kebutuhan untuk menjelaskan makna seni, dan kemudian beranjak kepada kebutuhan memperoleh kesenangan dari kegiatan berbincang-bincang tentang seni, maka pada tahapan akhirnya akan dicoba dan dirumuskan pendapat atau tanggapan yang nantinya dapat difungsikan sebagai standar kriteria atau tolok ukur bagi kegiatan mencipta dan mengapresiasi seni.

1. Deskripsi

Deskripsi dalam kritik seni adalah suatu penggambaran atau pelukisan dengan kata-kata apa-apa saja yang tersaji dalam karya seni rupa yang ditampilkan. Uraian ini berupa penjelasan dasar tentang hal-hal apa saja yang tampak secara visual, dan diharapkan dalam penjelasan tersebut dapat membangun bayangan atau image bagi pembaca deskripsi tersebut mengenai karya seni yang disajikan. Deskripsi bukan dimaksudkan untuk menggantikan karya itu sendiri, tetapi diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai gambaran visual mengenai citra yang ditampilkan secara jelas dan gamblang. Pada tahapan deskripsi ini, penilaian atau keputusan mengenai karya seni dapat ditangguhkan terlebih dahulu, karena kritik harus mendahulukan penjelasan-penjelasan dasar berupa suatu gambaran yang lengkap. Selain itu, uraian deskripsi juga tidak mengindahkan interpretasi atau tafsiran awal sebelum bukti-bukti, dan data-data, serta fakta konsep berkarya berhasil dikumpulkan.

Uraian deskripsi biasanya ditulis sesuai dengan keadaan karya sebagaimana apa adanya, dan juga berusaha menelusuri gagasan, tema, teknis, media, dan cara pengungkapannya. Uraian deskripsi meliputi uraian mengenai hal-hal yang diwujudkan pada karya secara kasat mata mengenai garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain, tanpa mencoba memberikan interpretasi dan penilaian, sehingga uraian deskripsi menjelaskan secara umum apa-apa saja yang terlihat dalam pandangan mata, tanpa harus memancing perbedaan pendapat atau berusaha memperkecil perbedaan penafsiran.

2. Analisis Formal

Anilis formal merupakan tahapan berikutnya sebagaimana deskripsi, yaitu mencoba menjelaskan obyek yang dikritik dengan dukungan beberapa data yang tampak secara visual. Proses ini dapat dimulai dengan cara menganalisis obyek secara keseluruhan mengenai kualitas unsur-unsur visual dan kemudian dianalisis bagian demi bagian seperti menjelaskan tata cara pengorganisasian unsur-unsur elementer kesenirupaan seperti kualitas garis, bidang, warna dan tekstur, serta menjelaskan bagaimana komposisi karya secara keseluruhan dengan masalah keseimbangan, irama, pusat perhatian, unsur kontras, dan kesatuan. Analisis formal dapat dimulai dari hal ihwal gagasan hingga kepada bagaimana tatacara proses pewujudan karya beserta urutannya.

Pada saat persoalan komposisi mulai dibicarakan, maka mulai diuraikan perkara tatacara pengukurannya yang disesuaikan dengan rancangan dan kandungan maknanya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis formal adalah semiotika, karena semiotika merupakan ilmu tanda yang dapat menata pencerapan manusia dalam melihat berbagai gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dapat dihayati dan dimengerti secara bersama. Perbandingan-perbandingan mulai dapat dilakukan sebagai suatu cara untuk mencapai intensitas perubahan pemikiran dalam sebuah proses pengubahan karya. Analisis formal tetap berangkat dari wujud nyata dalam karya dengan langkah kajian yang lebih bersifat menganalisis kualitas tanda, sehingga sampai pada proses ini pernyataan atau ungkapan seniman belum diperlukan sebagai sebuah data, kecuali jika diperlukan catatan-catatan yang berbeda dengan realitas karya yang disajikan. Tahapan ini telah menjelaskan karya secara obyektif mengenai kualitas tanda-tanda yang ada pada karya, dan dimulai telaah ke arah bagaimana menafsirkan bentuk.

3. Interpretasi

Intepretasi adalah menafsirkan hal-hal yang terdapat di balik sebuah karya, dan menafsirkan makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap penafsiran justru dapat mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan dibalik struktur bentuk, misalnya unsur psikologis pencipta karya, latar belakang sosial budayanya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu senimannya. Penafsiran merupakan salah satu cara untuk menjernihkan pesan, makna, dan nilai yang dikandung dalam sebuah karya, dengan cara mengungkapkan setiap detail proses intepretasi dengan bahasa yang tepat. Guna menjelaskan secara tepat, maka seseorang yang melakukan penafsiran harus berbekal pengetahuan tentang proses pengubahan karya. (lihat Feldman, 1967 : 479)

Sebuah karya seni membutuhkan penafsiran yang tepat jika dimaksudkan untuk membuat suatu penilaian yang kritis. Pada umumnya penguraian berdasarkan metode yang ilmiah tentang struktur bentuk karya, dan hubungan setiap elemen unsur rupa sangat bermanfaat untuk melandasi interpretasi. Bentuk penilaian pada karya seni rupa merupakan gabungan antara pribadi seniman dengan gagasan atau ide yang dijadikan konsep dalam berkarya, adanya permasalahan yang akan dikemukakan oleh seniman serta seberapa jauh masalah tersebut dapat diselesaikan, tema yang akan digarap dan bagaimana penggarapannya, materi yang dipilih untuk mewujudkan karya, teknik yang digunakan, serta pengalaman dan latar belakang seniman, kesemuanya saling terkait dan berhubungan untuk menunjang sebuah interpretasi yang tepat.

4. Penilaian

Sebuah penilaian berdasarkan atas deskripsi, analisis formal, dan intepretasi sebuah karya seni dengan data-data visual maupun penjelasan-penjelasan tambahan dari seniman. Penilaian dalam kritik seni, bukanlah seperti penilaian akhir anak sekolah seusai tes hasil belajar dengan skor angka puluhan dengan nilai 100 untuk hasil yang sempurna tanpa kesalahan, rentang angka 85 – 95 untuk kategori dianggap baik, rentang angka 70 – 84 dianggap cukup, dan 55 – 69 dikategorikan kurang, sedangkan skor 54 kebawah dianggap tidak berhasil atau tidak lulus tes. Penilaian kritik seni juga bukan dengan huruf A untuk hasil yang sangat baik, B untuk hasil yang baik, C untuk hasil yang cukup, D untuk hasil yang kurang, dan E untuk yang tidak lulus.

Dalam kritik seni ukuran penilaiannya bisa secara generalisasi atau non generalisasi yang menganggap bahwa karya seni itu adalah sesuatu yang unik dan tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok analisa menganggap bahwa dalam menilai sebuah karya seni rupa adalah berdasarkan analisa unsur-unsur dalam karya seni rupa tersebut secara terpisah-pisah, misalnya yang dinilai adalah komposisi, proporsi, perspektif, garis, warna, anatomi, gelap terang, dan sebagainya. Masing-masing nilai dijumlahkan kemudian dibagi banyaknya unsur yang dinilai. Kelompok kedua disebut sebagai kelompok non generalisasi cenderung menilai karya seni tidak bagian demi bagian secara terpisah, tetapi menganggap karya seni sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dianalisa atas unsur demi unsur dan menilai terpisah, tanpa kehilangan makna dan nilai sebagai karya seni rupa yang utuh dan bulat.

Pada sisi yang lain, ada anggapan penilaian dalam karya seni dapat dilihat dari tingkat keberhasilan karya tersebut dalam menyampaikan pesan sesuai keinginan seniman penciptanya. Tahap evaluasi atau penilaian ini pada dasarnya merupakan proses menetapkan derajat karya seni rupa bila dibandingkan dengan karya seni rupa lainnya yang sejenis. Tingkat penilaiannya ditetapkan berdasarkan nilai estetiknya secara relatif dan kontekstual. Dalam menilai sebuah karya seni rupa sedapat mungkin mengkaitkan karya yang ditelaah dengan sebanyak mungkin karya seni rupa yang sejenis dengan maksud mencari ciri-ciri khususnya, kemudian menetapkan tujuan atau fungsi karya yang sedang ditelaah, menetapkan sampai seberapa jauh karya yang sedang ditelaah tersebut berbeda dari yang telah ada sebelumnya dan mencari karakteristiknya, dan terakhir menelaah karya yang dimaksud dari segi kebutuhan khusus dan sudut pandang tertentu yang melatarbelakanginya.

5. Aspek yang Dikritik

S

ebuah karya seni dibuat atau diciptakan bukan sekedar untuk ditampilkan untuk dilihat dan didengar saja, tetapi penuh dengan gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu yang hendak dikomunikasikan penciptanya. Di samping itu, penciptaan karya seni juga diharapkan dapat merespon ruang dan waktu di mana dia diciptakan. Di sini aspek ide atau gagasan, tema, teknik pengolahan material, prinsip-prinsip penyusunan atau pengorganisasian dalam mengelola kaidah-kaidah estetis, keunikan bentuk, gaya perseorangan, kreatifitas dan inovasi, turut dipertimbangkan. Para kritikus seni diharapkan mampu mengkomunikasikan serbaneka aspek-aspek tersebut di atas beserta nilainya kepada masyarakat.

Suatu karya seni yang baik, bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba atau suatu manifestasi sembarangan, dan mencipta asal jadi. Penciptaan karya seni yang baik membutuhkan pemikiran dan perenungan yang dalam, serta adanya dorongan menyeluruh yang kuat dari berbagai aspek. Pada saat ide atau gagasan muncul dan hendak diwujudkan dalam sebuah karya seni, seniman tentunya mulai mempertimbangkan bahan dan teknik yang bagaimana yan sesuai untuk mewujudkan ide atau gagasan tersebut. Falsafah hidup merupakan salah satu aspek yang mendasari penampilan suatu karya seni menjadi baik. Hal ini bukan berarti seorang seniman harus menjadi filsuf seperti Emanuel Kant, Georg Wilhelm Friederich Hegel, dan sebagainya terlebih dahulu sebelum menjadi seniman. Jika seorang seniman dituntut menguasai filsafat seperti filsuf dengan melahirkan sistem filsafat baru yang lengkap, maka gagalah seniman tersebut dalam berkarya seni, dan akhirnya justru menjadi filsuf baru serta batal menjadi seniman.

Falsafah seorang seniman cukuplah falsafah seni yang dijadikan titik pangkal dalam konsep dan pangkal artistiknya. Jika dalam sejarah seni rupa moderen dikenal Piet Mondrian, Filippo Tornasso Marinetti, Ozenfant, Andre Bretton yang berurutan dikenal sebagai pelopor neo plastisisme, futurisme, purisme dan surealisme, karena mereka adalah seniman kreatif sekaligus pelopor yang selalu berfikir, merenung, menghakekati fenomena dengan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, ke mana, sejauh mana, dan sebagainya. Singkat kata Piet Mondrian berpendapat “We want to penetrate nature in such a way that the inner construction of reality is revealed us”. Baginya, alam selalu berubah dapat disiasati sampai pengalaman bentuk tertentu. Seni mempunyai pengertian yang intuitif dan matematis yang merupakan representasi fundamental dari alam kosmos. Bentuk matematik ini sebagai sesuatu yang universal. Berdasarkan pandangan filosofis tersebut diketahui siapa sesungguhnya Piet Pondrian. Pandangan semacam ini pada masanya merupakan hal baru dan masih segar dalam perkembangan seni rupa, sehingga sangat berharga karena kreatif. Landasan filosofis gerakan futurisme kutipannya sebagai berikut: “A new beauty … a rearing motorcar, which runs like a machine gun is more beautyful than the winged victory of Samothrace … we wish to glorifi, war …” (lihat Sudarmaji, 1979 : 26)

Keseimbangan pada rangkaian bunga di Cina menggunakan paradok Taoisme yang dikenal dengan istilah Yin Yang (Im Yang), yaitu mencari jalan tengah antara unsur positif dan negatif. Jika kedua unsur yang tampaknya saling bertentangan itu dalam keadaan imyang, maka dapat dikatakan dalam keadaan selaras dan produktif. Apabila rangkaian bunga terdiri hanya salah satu unsur saja, positif atau negatif, maka dikatakan disharmonis atau berkeseimbangan kuno yang simetris. Bangsa Cina melihat keseimbangan dan harmoni dengan belajar kepada alam. Bukankah keseimbangan tampak pada sesuatu yang kelihatannya bertentangan seperti pria dan wanita yang merupakan sepasang pengantin? Hal ini serupa dengan konsepsi seni dan sistem simbolisme Jawa yang melihat keseimbangan atau keselarasan berdasarkan klasifikasi simbolis dua kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori, oleh orang Jawa dikaitkan pada hal-hal yang berlawanan, bertentangan, bermusuhan, atau justru yang saling membutuhkan. Positif – negatif, baik – buruk, tinggi – rendah, panas – dingin, halus – kasar, kanan – kiri, siang – malam, dan lain-lain merupakan perbedaan yang mendasari sistem klasifikasi dua kategori.

Konsep klasifikasi dua kategori ini seperti gula Jawa atau gula kelapa yang wujudnya setengah lingkaran karena dicetak menggunakan bathok kelapa. Gula Jawa dalam wujud dan ukurannya dikenal dengan istilah lirang dan tangkep. Meskipun lirang wujudnya setengah dari tangkep (setengah lingkaran), lirang itu sendiri memiliki pengertian yang utuh. Ia tidak lazim disebut setengah tangkep. Selirang ditambah selirang menjadi dua lirang, tetapi dua lirang yang disatukan menjadi setangkep atau satu tangkep. (lihat Bahari, 2004)

Keutuhan wujud itu memang setangkep, meskipun lirang itu sendiri juga utuh sebagai kesatuan. Ringkasnya hal ini memberi pelajaran tentang prinsip satu ditambah satu sama dengan satu, walaupun dua juga. Klasifikasi dua kategori ini sering juga disebut sebagai dwitunggal atau dua menjadi satu. Dwitunggal ini juga merupakan simbol dari konsep jumbuhing kawulo-Gusti, yaitu suatu tingkat pencapaian tertinggi dalam perjalanan spiritual manusia. Pada tingkat mutakhir terjadi manunggal Subyek – Obyek, sehingga diperoleh pengetahuan mutlak atau kawicaksanan, kawruh sangkan paran dalam mencapai kesempurnaan.

Simbolisasi dua kategori ini secara visual juga sering diwujudkan dalam bentuk lingga dan yoni. Dalam alam pikiran orang Jawa ada kecenderungan kedudukan yang tinggi sering dikaitkan dengan hal-hal yang asing, formal, kanan, suci, dan halus. Sebaliknya kedudukan yang rendah dikaitkan dengan hal-hal yang dekat, informal, kiri, profan, dan kasar.

Orang Jawa berdasarkan kategori “kanan” dan “kiri” mewujudkannya dalam sopan santun dengan menganggap melakukan sesuatu dengan tangan kanan lebih baik, halus, dan beradab; sebaliknya melakukan sesuatu dengan tangan kiri dianggap tidak sopan, kurang ajar, dan biadab. Sejak masih kecil, anak-anak orang Jawa sudah diajarkan untuk makan menggunakan tangan kanan. Dalam pertunjukan wayang kulit, tokoh-tokoh yang jahat disusun berjajar di sebelah kiri dalang; sedangkan tokoh-tokoh yang baik dan pihak yang benar disusun di sebelah kanan dalang.

Dalam legenda Jawa, setelah Allah SWT menciptakan dunia, keturunan Nabi Adam dipisahkan menjadi dua garis, yaitu alur panengen atau keturunan kanan yang di dalamnya termasuk Nabi Muhammad SAW, tokoh-tokoh suci agama Islam, dan para Wali di Jawa yang menurunkan dinasti-dinasti “kanan” raja-raja Jawa. Garis keturunan kiri atau alur pangiwa meliputi para dewa Hindu, para pahlawan ceritera-ceritera Mahabharata dan Ramayana, yang menurunkan dinasti-dinasti “kiri” raja-raja Jawa. (Pigeaud, 1967 : 151) Hal ini mungkin sengaja diciptakan oleh pujangga kraton untuk mensyahkan proses integrasi unsur agama dan budaya Islam ke dalam krebudayaan kraton pada paruh kedua abad ke 18 hingga awal berikutnya. (lihat Koentjaraningrat, 1994 : 431)

Secara psikologis, langkah pertama lahirnya karya seni ialah pengamatan. Ilmu jiwa fenomenologi memberikan pelajaran kepada kita bahwa peristiwa mengamati itu sesungguhnya bukan peristiwa lepas yang berdiri sendiri sebagaimana pandangan yang pernah dianut ilmu jiwa unsur. Terhadap stimulus yang datang, seseorang akan menenangkap makna yang personal sesuai dengan pengalamannya.

Arti stimulus jelas berbeda bagi setiap individu karena dalam rangkaian pengalamannya yang disimpan dalam memorinya ketika menjalani masa lalu. Sebaliknya bisa berbeda lagi lantaran endapan cita-citanya ke masa depan. Sebagai contoh ketika seseorang mendapatkan stimulus bunga anyelir, orang tersebut seketika berseri wajahnya karena teringat pengalaman masa lampau yang menggembirakan dan tak terlupakan ketika ketemu Si Manis dengan anyelir yang mencuri hatinya, dan telah menjadi kekasihnya yang sangat dicintainya hingga sekarang. Sebaliknya bagi orang lain ketika menerima stimulus bunga anyelir justru langsung jatuh pingsan, karena dengan anyelir didekapan anaknya yang bungsu menjadi berkeping-keping digilas truk gandengan sewaktu aanak tersebut tertatih-tatih menyeberang jalan raya. (lihat Sudarmaji, 1979 : 26)

Tanggapan orang terhadap bunga anyelir seperti contoh di atas berbeda-beda, dan terbentuk suatu keadaan jiwa atau suasana hati (mood) yang berbeda. Seandainya harus mengungkapkan keluar ekspresi ini, yang melihat akan mendapatkan manifestasi yang sangat lain. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa manifestasi karya seni adalah manifestasi perseorangan, sehingga dalam mengevaluasi sebuah karya seni tidak boleh terlalu kaku berpegang pada kriteria yang umum sifatnya atau justru apriori terlebih dahulu karena sudah mempunyai atau mempersiapkan kriteria sebelumnya.

Kondisi pribadi seseorang dan juga latar belakangnya mempengaruhi persepsi yang diterimanya. Setiap orang memberikan respon atau tanggapan kepada stimulus berdasarkan pengalaman atau cita-citanya. Sudah menjadi kodratnya bahwa setiap manusia berbeda dengan watak serta temperamentalnya. Banyak ahli ilmu jiwa yang mempelajari dan meneliti secara khusus watak manusia yang dinamakan karakterologi, seperti Ludwig Klages, Carl Gustav Jung, Heymans, Kretchmer, dan sebagainya.

Sebagai contoh, Carl Gustav Jung secara garis besar membagi manusia menjadi dua tipe, yang pertama adalah seseorang yang jiwanya selalu menoleh keluar atau exstrovert, dan tipe kedua justru kebalikannya yang jiwanya selalu menoleh ke dalam disebut introvert. Tipe extrovert mempunyai kecenderungan dengan mudah menanggapi peristiwa di luar dirinya. Wataknya riang gembira, terbuka dan tidak pendendam, suka meniru, dan suka bercanda atau tidak serius. Tipe introvert kebalikannya, cenderung tafakur dan punya hati tertutup. Kuat imajinasi dan fantasinya daripada mengamati dengan teliti. Teori watak Jung ini bersesuaian dengan hasil penelitian Viktor Lowenfeld, seorang sarjana Amerika berasal dari Austria yang berulangkali meneliti dan menyelidiki seni rupa anak. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lowenfeld menggolongkan gambar anak menjadi dua kelompok, pertama yang menunjukkan adanya pengamatan yang kuat sehingga menghasilkan karya yang cenderung realistis disebutnya dengan anak tipe visual; kedua adalah kelompok anak yang imajinasinya kuat, dan menghasilkan karya yang cenderung non visual.

Secara psikologi manusia menangkap gejala di sekelilingnya secara pribadi atau personal terutamam dalam hubungan dengan penciptaan kesenian. Selain itu secara psiko-analis diketahui bahwa di samping dikendalikan oleh kesadarannya, manusia juga dikendalikan oleh alam bawah sadarnya. Bahkan pernah dikemukakan oleh Sigmund Freud, antara kesadaran dan ketidak sadaran manusia dapat diibaratkan berbanding sebagai gunung es di tengah lautan, atau satu berbanding sembilan.

1. Gaya Perseorangan / pribadi

Berhubung pribadi manusia yang terbentuk kokoh dan kuat, serta dibina oleh unsur dari dalam (internal), sekaligus juga unsur yang datang dari luar (eksternal), atau dengan kata lain unsur subyektif dan obyektif, maka para seniman yang bermutu akan menghasilkan karya-karya yang mempunyai ciri khas pribadi dengan simbol-simbol yang pribadi dalam perambahannya di dunia kesenirupaan. Dalam proses kelahiran karya seninya, terbuka peluang bagi pengembangan pribadi dalam karyanya, yang hasilnya terus diuji berulang-ulang melalui simbol-simbol dalam sistem pemberian makna bersama. Inilah yang menyebabkan timbulnya berbagai gaya individual dalam ciptaan atau tampilan seni. Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa fungsi dari seni itu beroperasi dalam konteks situasi yang berbeda-beda, dan ekspresi gaya berkaitan dengannya. Orang yang hidup dalam suatu lingkungan kebudayaan akan memberi pedoman untuk bertindak dalam suatu kerangka pola bagi kelakuan, yang terwujud dalam bentuk kebiasaan, kesepakatan, dan berbagai cara penanggulangan yang dipranatakan dalam kehidupan sosialnya, di mana perwujudan karya seni yang mencerminkan suatu kelompok juga menjadi ciri-ciri umum yang mendasari ciri-ciri pribadi. Pengertian ini menunjukkan meskipun gaya individual sangat menonjol dalam karya seni tersebut, akan diterima secara sosial jika terdapat asas-asas di dalamnya yang dapat dipahami secara bersama.

Perwujudan kesenian senantiasa terkait dengan penggunaan kaidah dan simbol. Penggunaan simbol dalam seni, sebagaimana dalam bahasa, menyiratkan suatu bentuk pemahaman bersama di antara warga masyarakat pendukungnya. Perwujudan seni, sebagai suatu kesatuan karya, dapat merupakan ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidup penciptanya. Pertama, karya seni berisikan pesan dalam idiom komunikasi, dan kedua merangsang semacam perasaan misteri; yaitu sebuah perasaan yang lebih dalam dan kompleks daripada apa yang tampak dari luar karya tersebut.

2. Tema

Tema merupakan gagasan yang hendak dikomunikasikan pencipta karya seni kepada khalayak. Tema yang hadir dalam sebuah karya seni, misalnya tema-tema sosial, budaya, religi, pendidikan, politik, pembangunan, dan sebagainya. Aspek yang dapat dikritisi dalam hal ini adalah sejauhmana tema tersebut dapat menyentuh penikmat karya seni pada nilai-nilai tertentu dalam kehidupannya sehari-hari atau mengingatkan pada hal-hal tertentu.

3. Kreatifitas

Pengertian orang kreatif adalah orang yang selalu berkreasi, sedangkan pengertian berkreasi adalah membuat sesuatu yang belum ada sebelumnya menjadi ada. Prinsip dasar dari kreatifitas, dan inovasi adalah memberi nilai tambah pada benda-benda, cara kerja, cara hidup dan sebagainya, agar senantiasa muncul produk baru dan lebih baik dari produk yang sudah ada sebelumnya.

Penciptaan sebuah karya seni mengandung pengertian mewujudkan suatu karya seni yang mempunyai arti dan nilai baru. Misalnya untuk membuat sebuah patung, seniman memanfaatkan batu sebagai media karyanya dengan cara memahatnya, sehingga menghasilkan sebuah patung yang tidak berwujud sebuah batu alam yang utuh lagi. Ketika batu alam untuk pertamakali dimanfaatkan sebagai media patung, maka orang yang pertamakali melakukannya dapat disebut sebagai orang yang kreatif dan inovatif. Bagaimana dengan orang berikutnya yang ingin membuat patung dengan memanfaatkan batu alam? Apakah masih bisa disebut sebagai seorang yang kreatif atau sekedar peniru saja? Meskipun masih menggunakan media batu alam yang sama, masih terbuka lagi kemungkinan kreatifitas dengan penggunaan bahan batu alam menjadi patung. Kreatifitas lain dapat muncul dari hal-hal seperti cara memahatnya, cara membentuknya, dan wujud akhir patung yang dihasilkan, mungkin secara prinsip sangat lain dari yang sudah diciptakan pematung sebelumnya. Seniman kreatif adalah orang yang selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membuat sesuatu yang baru dan asli. Guna mewujudkan keinginannya yang kreatif, maka harus sering melakukan percobaan-percobaan dengan menghubungkan beberapa hal menjadi sesuatu yang baru dan lebih berarti.

Kreatifitas di sini sangat erat kaitannya dengan gaya perseorangan, karena proses penciptaan karya seni merupakan perpaduan faktor internal dan eksternal. Dalam tinjauan psikologi telah disebutkan bahwa setelah persepsi akan memunculkan personalisasi, dan ditambah dengan kekayaan visi serta falsafah hidup yang hakiki, merupakan landasan dasar perseorangan yang berbeda dengan orang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan karya Paul Klee menjadi khas, berbeda dengan rusli, tidak sama dengan Diego Rivera atau Jackson Pollock.

4. Teknik mewujudkan karya

Ketika seniman mempunyai gagasan, maka dipikirkannya bagaimana tata cara mewujudkan idenya tersebut, atau dengan kata lain bagaimana cara mentransformir wujud yang idiil menjadi sensuil sehingga bernilai sebuah karya seni yang bermutu tinggi. Teknik untuk mewujudkan karya antara lain teknik dalam mengolah bahan untuk mewujudkannya dengan cara-cara khusus seperti teknik cor, teknik kerok, teknik tempel, dan teknik tuang untuk seni patung; teknik dusel dan teknik arsir untuk gambar; teknik kuas kasar, teknik palet, teknik transparan, dan teknik pointilis untuk seni lukis; teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak sdaring untuk seni grafis; dan teknik-teknik lainnya. Setiap bahan dan alat dapat digunakan untuk diolah guna menghasilkan efek-efek yang diinginkan sesuai dengan gagasan senimannya.

Aspek yang dinilai dalam hal ini adalah sejauhmana penggunaan teknik-teknik tersebut dapat menghasilkan efek-efek visual yang estetis dan khas, dan seberapa jauh teknik tersebut dapat memenuhi atau mewakili keinginan senimannya dalam mewujudkan karyanya.

6. Rangkuman

Kritik seni dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan istilah “ulas seni”, “kupas seni”, “bahas seni” atau “bincang seni”. Hal ini disebabkan istilah “kritik” bagi sebagian orang sering mempunyai konotasi negatif yang berarti kecaman, celaan, gugatan, hujatan, dan lain-lain. Dalam seni mengkritik berarti mengevaluasi atau meneliti karya seni atau literatur. Tujuan dari kritik seni adalah pemahaman pada karya seni, dan ingin menemukan suatu cara guna mengetahui apa yang melatar belakangi suatu karya seni dihasilkan serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya. Kritik seni juga berfungsi sebagai jembatan antara karya seni dan penikmatnya, supaya orang yang melihat karya seni memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan mutu suatu karya seni, dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap karya seni. Dalam melaksanakan kritik seni secara verbal maupun tulisan, biasanya terdapat unsur deskripsi karya seni, kemudian analisis formal karya seni, yang dilanjutkan dengan interpretasi, dan tgerakhir tahap evaluasi atau penilaian akan mutu yang dihasilkan dalam karya seni yang dikritik. Penciptaan atau kreasi karya seni dipengaruhi oleh faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman dan pemakai seni / user. Pendekatan intraestetik, yaitu faktor yang semata-mata memandang nilai estetik yang terkandung dalam bentuk fisik karya seni (unsur struktur, bentuk, dll.) dengan kriteria yang ditetapkan universal oleh para ahli seni. Pendekatan formalisme dalam menelaah karya seni rupa dengan cara memandang obyek utamanya atau karakteristik materialnya, sehingga masalah kecakapan dalam mengolah bentuk dan keterampilan teknis dari pembuat karya seni dalam mewujudkan karya seninya yang kasat mata merupakan pokok perhatian utama pendekatan ini. Di samping itu, penciptaan karya seni juga diharapkan dapat merespon ruang dan waktu di mana dia diciptakan. Di sini aspek ide atau gagasan, tema, teknik pengolahan material, prinsip-prinsip penyusunan atau pengorganisdasian dalam mengelola kaidah-kaidah estetis, keunikan bentuk, gaya perseorangan, kreatifitas dan inovasi, turut dipertimbangkan. Para kritikus seni diharapkan mampu mengkomunikasikan serbaneka aspek-aspek tersebut di atas beserta nilainya kepada masyarakat.

7. Soal-soal

1. Apa yang dimaksud dengan kritik seni?
2. Jelaskan tujuan dan fungsi kritik seni!
3. Apa pengertian dari unsur-unsur kritik seni?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan penilaian dalam kritik seni!
5. Uraikan aspek-aspek yang dikritik dalam kritik seni meliputi gaya perseorangan / pribadi, tema, kreatifitas, dan teknik dalam mewujudkan karya seni!

No comments:

Related Posts with Thumbnails